“Ingat, di awal penyelaman karang ada di sebelah kanan kita.” Ody, instruktur muda yang menemani night dive, memberikan arahan. “Kita ke arah luar pulau dulu, melawan arus. Setelah udara 100 bar kita balik arah ke dermaga.”
Begitulah rencana night dive malam ini. Kami berlima, yakni Ody, Fadli, Om Aris, Agung, dan saya. Begitu mentari mulai terlihat condong ke ufuk barat, kami mulai menyiapkan peralatan diving kami.
Belajar dari pengalaman night dive minggu sebelumnya ketika kami agak kesulitan mencari lokasi kapal jemputan, penyelaman kali ini kami start dari boat kemudian mengarah ke dermaga.

Kapal melaju perlahan ke arah barat, mencari posisi enak sekitar 500 meter dari dermaga. “Saya turun dulu cek arus,” ujar Ody sembari memasang jet fins Poseidon hitam yang dulu dibeli sebelum dive trip ke Morotai.
Kami menunggu di perahu sembari mempersiapkan peralatan night dive sekali lagi. Arus ke arah barat. Berarti posisi turun kami harus ke arah timur pulau supaya nanti tidak harus melawan arus (drifting) menuju ke dermaga.
Salah satu prosedur penting yang kadang dilupakan
Setelah Ody kembali ke permukaan, perahu segera mencari posisi di ujung pulau. “Wah, kalau jarak segini dan ikut arus mungkin cuma 10 menit kita sudah sampai di dermaga, nih,” celetuk saya sembari memasang dan mendengarkan pengarahan.

“Ingat, lampu tidak boleh kita matikan selama diving. Kalau ada masalah nanti kita goyang-goyangkan lampu. Kalau ada yang menarik, kita arahkan lampu sembari menggerakkan[nya] memutar. Kalau perlu [saat] melihat kondisi sekitar lampu jangan dimatikan, tapi cukup ditutup dengan tangan atau ditempelkan ke dada. Dan ingat lampu jangan diarahkan ke mata,” demikian arahan dari Ody.
“Kalau nanti terpisah dari rombongan, jangan panik. Tutup lampu dengan tangan, lihat apakah ada cahaya buddy kita di sekitar. Kalau tidak ada tanda-tanda …. ditunggu dalam waktu 1 menit [lalu] kita naik ke permukaan.”
Prosedur di atas memang kadang lupa disepakati sebelum penyelaman. Padahal itu adalah salah satu prosedur penting, terutama ketika diving dengan orang-orang baru.
Selanjutnya adalah briefing mengenai medan dan kondisi arus yang akan dihadapi saat penyelaman malam nanti. “Arus ke arah barat, kita nanti ke arah timur dulu, karang di sebelah kanan kita. Setelah oksigen tersisa 100 bar kita balik arah ke dermaga.”
“Five Point Descent”
Satu per satu kami melakukan back roll turun dari kapal. Arus cukup kuat di permukaan sehingga kami terseret menjauh dari kapal. Kami berenang dan berkumpul di sekitar kapal sembari mengecek kesiapan semua peserta. Budi yang berada di kapal sekali lagi memastikan peserta sebelum kemudian memberikan tanda bahwa kapal akan kembali ke dermaga.
Di sebelah barat kami, dari balik masker yang berkali-kali tersapu air, lampu-lampu Ob’a Resort berkelip-kelip. Senter yang sudah menyala menerangi permukaan air sekitar yang agak bergelombang.
“Five Point Descent, ya.” Aba-aba untuk turun ke bawah sesuai standar PADI, SORTED, mulai kami lakukan. SORTED adalah jembatan keledai dari “sinyal” turun ke bawah, “orientasi” melihat ke sekeliling, mengganti snorkel dengan “regulator,” mengecek “waktu” (time) di jam, dan “turun” (descent) dengan selalu melakukan penyesuaian tekanan (equalize).

Udara menggelembung dari regulator begitu kami mulai turun ke kedalaman. Dive comp di tangan sudah menunjukkan 5 meter. Saya yang berada di depan mengarahkan senter mencoba menerangi sekitar, mencari lahan miring (slope) dan karang sebagai referensi. Harusnya karang berada di kanan kami, tapi nyala senter ternyata tak bisa menembus jauh ke depan. Setelah satu atau dua meter, hanya gelap yang terlihat.
Beberapa teman di belakang juga tampak mengarahkan senter mencari-cari referensi untuk mengetahui posisi kami. Sesaat, terasa arus kencang membawa kami melaju ke depan. Kalau merujuk pada pengamatan sebelum mulai menyelam tadi, arus seharusnya mengarah ke belakang kami.
Dive comp di angka 15, terus bertambah sampai 24 meter ketika akhirnya senter kami menerangi pasir yang membentuk kontur riak. “Wah, sudah sampai di dasar, nih,” pikir saya sembari mengarahkan senter ke kiri dan ke kanan mencoba mencari tanda-tanda slope.
Susahnya mencari referensi posisi
Menurut pengalaman beberapa kali diving di depan Pulau Genteng Kecil ini, ketika berada di dasar kami akan menjumpai pertemuan dua slope, yakni Pulau Genteng Kecil dan Pulau Genteng Besar. Dan di dasar kami menjumpai banyak sea fan yang besar, tak cuma hamparan pasir yang luas seperti kali ini.
Sembari berpikir tentang keberadaan kami, saya mencoba berkomunikasi dengan Ody yang saat itu berada di bagian paling belakang. Dua telapak tangan saya saling membuka berlawanan membentuk tanda bingung, isyarat bahwa saya tidak tahu keberadaan kami sekarang. Kemudian senter saya arahkan ke kanan untuk menjelaskan bahwa saya tidak menemukan referensi posisi kami saat ini.
Ody memberikan tanda untuk maju dulu ke depan mengikuti arus sembari mencari informasi tentang posisi. Arus yang cukup kencang membuat kami kesulitan menyelam ke arah kanan. Rasanya kami malah semakin jauh terseret arus, bukannya kembali ke dermaga, bukan juga ke arah timur pulau.

Indikator SPG (submersible pressure gauge) mulai mendekati 100 bar. Sesuai kesepakatan awal, begitu tekanan mendekati 100 bar kami berbalik arah. Namun kurangnya referensi membuat kami memutuskan untuk naik ke atas alih-alih balik arah ikut arus.
Jempol ke atas. Perlahan-lahan kami mulai bergerak naik. Sesekali mata saya melirik dive comp untuk melihat kedalaman. Angka di dive comp perlahan-lahan mengecil, 24, 20, 15, 10…. Di angka 5 kami berhenti sejenak untuk safety stop sekitar 3 menit. Hitungan mundur di dive comp pun dimulai.
Sembari menunggu safety stop, kami melihat sekeliling karena masih penasaran dengan tanda-tanda yang bisa kami jadikan acuan. Tapi sama sekali tidak ada karang yang bisa kami lihat. Di depan kami hanya nyala senter yang membuyar di kegelapan.
Akhirnya tiba di permukaan
Begitu muncul di permukaan, kami seperti kehilangan arah. Di depan hanya terlihat dua bintik lampu, sementara agak jauh di belakang kami cuma ada pendaran oranye dan beberapa lampu. Kabut di permukaan laut menutupi jarak pandang sehingga kami kesulitan menentukan arah.
Membaca bintang penanda arah di langit juga tak bisa. Kurang cerah, langit tertutup awan. Yang bisa kami jadikan acuan hanya dua lampu bangunan yang agak jauh, pendaran oranye yang saya ceritakan tadi.
Semestinya, karena tadi kami turun di ujung Pulau Genteng Kecil, kami masih akan bisa melihat lampu dermaga Ob’a Resort. Namun sepertinya kami terseret arus cukup jauh.
Samar-samar, ingatan saya kembali pada momen ketika mengambil foto milky way di belakang Ob’a Resort beberapa minggu lalu. Waktu itu saya juga melihat pendaran cahaya kekuningan di langit selatan. Perkiraan saya, pengaruh polusi cahaya kota Jakartalah yang menyebabkan langit berpendar kekuningan. Kalau perkiraan itu benar, berarti cahaya oranye itu adalah arah selatan dan dua lampu kecil yang kami lihat kemungkinan besar lampu penginapan.

Kami mencoba berenang mendekati dua lampu sembari sekali-sekali menyalakan sinyal suara seperti terompet untuk menarik perhatian.
Seingat saya, dari bagian belakang Pulau Genteng Kecil kita tidak bisa langsung menuju daratan, sebab di beberapa bagian terumbu karang banyak dijumpai bulu babi. Alternatifnya adalah berenang menyusuri pulau ke arah depan. Namun dengan arus seperti ini pasti itu akan banyak menghabiskan energi.
“Kita berkumpul sebentar di sini gimana?” Ody mengusulkan. Kami telah terombang-ambing beberapa lama dan sinyal tak kunjung ditanggapi.
“Kayaknya musti cari tempat yang tidak berarus, Mas. Soalnya, kalau diam saja kita kena arus ke tengah lagi,” sembari mencoba berpindah ke pinggir, Agung urun pendapat.
Berjumpa seekor penyu dan ikan remora
Beberapa kali ombak yang memecah ke daratan membawa kami mendekati bulu babi yang bertaburan.
Sekilas, tampaknya seperti ada gerakan cahaya lampu dari pulau! Hati saya senang; kami akan segera mendapat bantuan. Kami membalas tanda dari pulau itu dengan cahaya serta beberapa kali teriakan. Malang, teriakan kami tampaknya tak terdengar karena keburu disapu angin.
Harapan kami pada cahaya-cahaya lampu itu mulai memupus, sebab lama-lama mereka makin jauh.

“Kalau terpaksa, kita terobos aja ke pantai gimana?” Om Aris mengusulkan sembari menebak-nebak keadaaan sepanjang garis lurus menuju pantai. Sudah setengah jam kami terapung-apung di laut. Mencoba menembus hingga ke depan pulau dengan arus seperti ini sepertinya akan menguras tenaga kami.
Saat terombang-ambing, saya sempat melihat ke bawah. Ada seekor penyu hijau berukuran sekitar satu meter berenang tenang seakan tak terganggu oleh kehadiran kami. Di karapaksnya menempel ikan remora—sebuah simbiosis mutualisme.
Tak lama kemudian terdengar bunyi mesin kapal yang mendekat—suara yang mungkin saja berasal dari tempat jauh. Tanpa ada penerangan jadi kami tak bisa menebak seberapa jauh lokasi kapal itu dari tempat kami. “TOLONGGGGG!!!” Kami berteriak, berharap suara terbawa hingga ke kapal yang berada di dekat kami.
Beruntung, ternyata kapal yang kami dengar tadi adalah kapal dari Ob’a Resort yang memang sengaja mencari kami. Seharusnya kami sudah muncul di dermaga setengah jam yang lalu. Karena kami tak muncul-muncul, mereka pun mencari.
Sungguh night dive yang berkesan. Semoga pengalaman berharga ini membuat kami semua lebih siap lagi menghadapi apa pun yang terjadi dalam penyelaman-penyelaman berikutnya. Capek? Jelas. Apalagi keesokan paginya saya harus menyelesaikan tugas snorkeling 800 meter untuk IDC (Instructor Development Course).