Nama Amurang, buat saya yang baru pertama kali ke Manado, sedikit susah untuk dihafal dan dilafalkan. Berkali-kali saya keliru mengeja. Amurang adalah salah satu kecamatan di Minahasa Selatan sekaligus ibu kotanya. Dari Manado, Amurang bisa dicapai dengan menumpang mobil selama sekitar satu setengah jam.
Belum terlalu banyak yang tahu tentang keindahan bawah laut Amurang. Namanya masih kalah jauh dari Bunaken atau Lembeh. Namun, justru itulah alasan kenapa Odydive, salah satu PADI 5 Star Dive Center di Jakarta, mengadakan trip ke Amurang. Potensi bawah laut di Kabupaten Minahasa Selatan perlu untuk dijelajahi dan diperkenalkan ke khalayak.

Pada hari kedua trip diving di Sulawesi Utara, kami berencana akan turun tiga kali di perairan Amurang. Tapi manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan.
Jadi “tamu” pertama di Amurang
Pagi hari kami meluncur dari penginapan di areal Pantai Malalayang menuju Amurang. Jalannya sudah bagus meskipun sedikit naik-turun dan berliku. Peralatan diving untuk 17 orang sudah diberangkatkan naik kapal bersama pemandu subuh tadi. “Sekitar 3-4 jam perjalanan lewat laut dari Manado menuju Amurang,” jelas salah seorang dive master saat saya ajak mengobrol.

“Ini perjalanan pertama kami membawa tamu untuk diving di Amurang. Biasanya [kami hanya diving] di sekitaran Manado, Bunaken, Siladen, atau di Lembeh,” ia menambahkan. “Amurang sendiri kami baru beberapa kali diving di sana.”
Setiba di salah satu resor di pantai, kami sejenak melepas penat. Tak lama, kapal pembawa peralatan berlabuh di pantai yang berpasir hitam. Kami pun segera menaiki kapal. Tujuan pertama adalah titik penyelaman yang disebut Tatapan oleh pemandu lokal. Dari pantai perlu waktu sekitar satu jam untuk ke sana.
Sepanjang perjalanan ombak cukup besar sehingga kapal yang kami tumpangi bergoyang-goyang. Langit abu-abu, mendung, tanpa warna biru khas Indonesia bagian timur. Saya duduk di bagian tengah kapal yang tertutup. Sebentar saja kepala saya mulai pusing. Itulah gejala awal mabuk laut. Sedikit tips: supaya tidak mabuk laut, ambil posisi di haluan yang terkena angin atau di bagian buritan yang terbuka.
Sampai di titik penyelaman kami segera bergantian mengenakan peralatan selam. Para pemandu Manado Scuba sangat sigap mempersiapkan semua. BCD sudah terpasang di tangki sehingga penyelam hanya tinggal mengecek apakah ada kebocoran dan apakah udara di tangki cukup untuk penyelaman.
“Usahakan nanti kalau sudah muncul di permukaan jangan mendekati pantai, karena kapal tidak akan bisa menjemput ke sana. Terlalu dangkal,” ucap salah seorang pemandu kami ketika briefing.
Setelah memasang BCD, masker, dan fins, kami siap untuk melakukan back roll entry dari kapal. Rekan-rekan saya sepertinya antusias sekali untuk menjadi “tamu” pertama yang menjelajahi dunia laut Amurang. Ada salah seorang yang sampai lupa memasang fins-nya. Setelah berada dalam posisi salto baru ia sadar kalau kakinya masih belum berselaput.
Arus cukup kencang
Begitu masuk ke dalam laut, saya mendapati bahwa lokasi yang kami datangi dasarnya berpasir. Terumbu karang juga tak terlalu ramai. Beberapa sponge (Porifera) besar tersebar di sepanjang jalur yang kami lewati. Sesekali kami memapas beberapa sea fan yang cukup besar, yang berada di antara karang-karang yang sebarannya tak merata.
Dilihat dari kondisinya, sepertinya di Tatapan banyak objek makro yang bisa diabadikan. Beda sekali keadaannya dari Bunaken yang jalur penyelamannya didominasi oleh dinding terumbu karang alias wall.

Tak terlalu banyak juga ikan yang kami amati di Tatapan. Mungkin karena arus cukup kencang. (Kami mesti menyelam dengan hati-hati agar tidak sampai terpisah terlalu jauh dari buddy.)
Setelah 40 menit lebih di bawah, satu per satu kami mulai melakukan safety stop di kedalaman 5 meter. Mencoba untuk stabil di kedalaman segitu dengan ombak permukaan yang cukup besar jadi sebuah tantangan tersendiri.
Ketika akhirnya muncul di permukaan, kami berada cukup jauh dari kapal. Kami menunggu cukup lama sambil diombang-ambingkan ombak yang cukup besar. Belum lagi kami harus berenang menjauh supaya tidak terseret ombak ke tepi pantai.
Satu persatu kami dijemput karena lokasi timbul berbeda-beda. Setelah semua berkumpul, kapal menuju ke salah satu kampung dekat lokasi penyelaman untuk makan siang.
Sebentar kemudian hujan lebat turun membasahi bumi. Laut berombak cukup tinggi sehingga akhirnya diputuskan untuk kembali ke Amurang dan membatalkan rencana diving berikutnya. “Cuaca kurang mendukung kalau kita memaksakan untuk menyelam,” ujar pemandu kami.
Diving di Amurang memang tak berlangsung sesuai rencana karena kendala cuaca. Namun saya berharap suatu saat nanti bisa kembali ke Amurang untuk menjelajahi keindahan bawah lautnya.